Sunday, September 28, 2014

TAKDIR TUHAN



Takdir Tuhan
Takdir Tuhan ?
Segala sesuatu atau ketetapan milik Allah yang sudah digariskan kepada kita sebagai makhluk ciptaannya. Mungkin salah satu dari apa yang saya alami adalah merupakan bentuk daripada takdir Tuhan itu.
Dari kecil saya bermimpi untuk menjadi seorang guru matematika atau ahli matematika yang hebat. Ketika TK, kemampuan saya dalam berhitung cukup memadai dan saya sangat menyukainya. Hingga SD saya tetap setia bersama bidang yang saya tekuni, saya sering ikut beberapa lomba  baik itu di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Tapi saya belum pernah menjadi juara ketika itu. Kesukaan it uterus berlanjut hingga saya SMP, saya pun sering mengikuti beberapa olympiade dan pernah masuk dalam nominasi 10 besar kabupaten waktu itu. Guru-guru saya pun sangat mendukung saya untuk lebih mengembangkan potensi saya. Hingga SMA, keinginan saya semakin kuat untuk bisa melanjutkan sekolah dan mengambil jurusan matematika. Entah itu pendidikan yang pada akhirnya nanti jadi guru ataukah yang ilmu murni. Saya daftar SNMPTN dan mengambil jurusan matematika ITS,, saya berharap usaha saya yang pertama bisa mendapat ridho dari Allah. Tapi ternyata Allah belum mengizinkan saya untuk berada di sana. Saya merasa terpukul karena benar-benar rasanya mimpi saya untuk bisa bersekolah di ITS telah sirna. Saya menangis dalam pelukan ibu saya, ibu saya berkata bahwa saya harus bisa menerima segala apa yang sudah diberikan Allah kepada saya. Akhirnya saya mencoba ikut SBMPTN. Dan pilihan saya kali itu adalah pendidikan matematika UNESA. Selain itu, ada teman saya yang menawarkan saya untuk mengikuti Ujian Masuk Politeknik Negeri (UMPN), dengan niat coba-coba pikir saya, akhirnya saya juga mendaftar UMPN dan memilih Politeknik Elektronika Negeri Surabaya jurusan elektro industri dan multimedia broadcasting. Setelah semua tes saya jalani, saya berdoa dan berharap untuk keinginan saya pada pilihan pertama di UNESA. Akhirnya pengumuman UMPN jatuh lebih dulu dan ternyata nama saya terpampang sebagai peserta yang diterima di jurusan multimedia broadcasting, saya bahagia sejenak karena melihat hasil tes saya tidak sia-sia meskipun berbekal ketidakniatan. Setelah beberapa hari kemudian, saya berfikir dengan jurusan yang saya ambil, saya bukan orang multimedia dan saya sangat tidak begitu tahu menahu soal dunia itu. Entah saya juga tidak tahu kenapa dulu saya memilih prodi itu. Saya berdoa agar saya bisa diterima SBMPTN, tapi ternyata Allah juga belum meridhoi saya di sana. Ingin rasanya saya menangis sekeras mungkin ? kenapa justru yang saya inginkan tidak diberikannya dan yang tidak saya inginkan malah teruntuk saya. Saya bingung waktu itu. Tapi saya bersyukur lambat laun saya bisa menerimanya dengan berbekal keimanan dan keyakinan saya kepada Allah. Allah pasti memberikan ini semua kepada saya dengan maksud tertentu. Dan saya yakin itu yang terbaik bagi saya. Saya yakin bahwa saya mampu belajar di sana. Karena saya sadar, bahwa diri saya, hidup saya dan segala yang ada dalam diri saya adalah bukan saya sendiri yang memilikinya. Saya hanya bisa menjalankan peran dari tokoh yang diberikan Allah untuk saya dengan sebaik mungkin. Saya akan berusaha memanfaatkan segala anugerah ini dengan sebaik mungkin, karena saya sadar bahwa diluar sana masih banyak anak-anak seusia saya yang nasibnya justru dibawah saya. Semoga saya senantiasa diberikan olehNya kekuatan dan kesabaran dalam menjadi apa yang saya jalani saat ini. Dan semoga apa yang saya tulis bermanfaat buat kita semua. Aamin….

Monday, September 22, 2014

My mind map









Description
My name is Zumrotin Sholichah. You can call me atin. I was born in Jombang at 22 April 1995. I live in Sumobito Jombang and  I’m graduated from Kesamben Jombang Senior High School. I have little family, there are my parents and my sister. My parents are Mr. Chabib and Mrs. Siti Asmunah. I have just one sister. Her name is Achiatin Wachidah, but she has passed away since seven years ago. I love my family very much. My hobbies are reading and singing. Usually I read some novel by Habiburrahman El Shirazzy, Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, etc. I like sing some song by Gita Gutawa. My ambision are Mathematic teacher and I want to work in television media as broadcaster. I have two bestfried from senior high school until now. They are Rizka and Eka. I love blue colour. My favourite food are meatball, friedrice, and soto. And my favourite drink just white water.
                I’m very happy here. I can school in Eelectonic Engineering Polytechnic Institute of Surabaya. And I can received in Multimedia Broadcasting. Meet some new friend and they are friendly. I hope I can next and will be happy until three years later.
THANK YOU

Sunday, September 21, 2014

IBU

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya.Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.